Untuk bisa menjadi seorang penulis bukanlah karna mempunyai bakat atau faktor keturunan. Sebab menjadi putra seorang penulis yang handal lantas ia akan mampu juga menjadi seorang penulis? Hal yang sangat mustahil terjadi jika tanpa adanya keinginan yang kuat dan keberanian untuk mencoba. Lantas setelah kita telah mencoba untuk menulis, apa yang akan kita ambil manfaatnya, uang, ketenaran, atau mungkin pujian dari seorang yang membaca karya tulis kita. Semua itu tergantung dari awal tujuan dan motivasi kita untuk menulis. Hingga pada giliranya muncul pertanyaan tentang apa enaknya menulis, kita takan pernah merasakan nikmat dari sebuah hasil karya tulis, tanpa pernah mencoba menulis. Segala takdir tuhan, takan ada suatu akibat tanpa adaya penyebab.
Pertamakali perkenalan saya dengan dunia menulis ialah ketika saya masih tinggal di Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang terletak di kota Jombang. Masa remaja saya lebih banyak dihabiskan di pondok pesantren dari pada di kampung halaman, karna itu adalah kemauan kedua orang tua yang tidak mungkin dapat ditawar lagi. Di pesantren saya tergolong sebagai santri yang agak bandel, dari mulai sering tidak mengikuti kegiatan pesantren, mencari tempat bersembunyi untuk sekedar menghisap rokok sampai seringnya keluyuran dimalam hari. Sebab kenakalan tingkah laku di pesantren itu lah yang membuat saya sering kali menerima ta’ziran (hukuman) oleh para senior yang notabenya sebagai pengurus pondok pesantren. Usia remaja adalah masa yang sangat labil, jangankan mau untuk diatur, untuk mengatur diri sendiri saja sangat merepotkan sekali. Seringkalinya mendapat teguran dan hukuman di pesantren membuat saya lebih sering merasaankan sedih, kecewa dan kemarahan atas perlakuan mereka, serta membuat hasrat saya untuk tidak lagi tinggal di pesantren semangkin tinggi. Namun apa daya, kedua orang tua takan mungkin memberikan restu atas kemauan tersebut, dan saya juga tak ingin lagi melihat mereka terus-menerus harus menanggung rasa malu atas perbuatan saya .
Dari perasaan sedih, kecewa dan marah yang tak mampu terluapkan itu lah membuat saya rajin untuk menulis kisahnya. Layaknya seorang aktivis pergerakan yang acap kali berkarya dengan tulisan, mengkritiki para petinggi negara yang menurut mereka dalam membuat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat, meskipun anggapan mereka belum tentu benar. Saya juga sering menulis tentang kepengurusan pesantren yang saat itu menurut saya sangat tidak berpihak kepada para santri. Karna dengan menulis tentang perasaan-perasaan yang saya alami, saya bagaikan telah mampu menampar kedua pipi mereka bahkan mungkin meludainya. Meskipun pada giliranya tuduhan saya tersebut sangat keliru besar, karna sebenarnya mereka para pengurus pesantren sangat menyangani para santri dan rupanya mereka pula lah yang tak ingin para santri terlena dalam kemalasan. Atau ketika saya harus bersedih, karna memendam rasa rindu dengan kedua orang tua, dengan suasana keluarga dan kampung halaman. Pelukan dan kasih sayang keluarga serta keceriaan bermaian di kampung halaman mampu terasa ketika saya menulisnya, dengan berimajinasi tentang mereka, rasa sedih sebab rindu yang terpendam lambat waktu mulai pergi dan tak terlintas lagi. Karena itu juga keinginan saya untuk terus rajin menulis semangkin termotivasi, meskipun tulisan-tulisan tersebut masih sama dengan tulisan saat ini, masih amat jauh dari kesempurnaan. Namun ketika dengan menulis kita mampu menemukan bahagia, mengapa harus minder yang berujung pada kematian kita untuk berkarya.
Setelah tiga tahun pengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah Negri Tambakberas, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Sekolah Tinggi Agama Islam Bahrul Ulum ( STAI-BU) dan tetap berdomisili di pondok pesantren. Mulai saat itu lah tumbuh kesadaran dalam diri saya betapa pentingnya  kita untuk dapat menulis atau menuangkan ide-ide yang ada dalam bentuk tulisan. Memasuki hari-hari awal di perguruan tinggi, tanggung jawab saya sebagai seorang santri yang seharusnya mentaati peraturan pesantren mulai mendapatkan keringanan, namun oleh pengasuh pesantren saya dipercaya untuk menjadi bagian dalam kepengurusan pondok. Seiring berjalanya waktu saya mulai menyadari bahwa apa yang dulu pernah saya tulis adalah sebuah angapan-anggapan yang amat sangat jauh dari kebenaran. Akan tetapi tulisan-tulisan itu telah mampu membawa ke dalam dunia masa lalu saya, bernostalgia dengan masa lalu dan mengambil hikmah dalam tulisan tersebut membuat pribadi saya lebih mengerti tatacara dalam bertingkah laku. Dengan menulis, secara tidak langsung kita sedang mengalami proses belajar yang maha dasyat, meski terkadang kita tak pernah tau kapan dapat merasakan manfaat dalam menulis akan terasa.
Akhirnya kebiyasaan saya menulis, walau sekedar tulisan tentang perjalan hidup atau pengalaman pribadi saya tersebut mulai diketahui oleh kawan-kawan mahasiswa. Oleh sebab itu saya diminta untuk bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Jombang, yang saat itu mengatasnamakan dirinya sebagai LPM Wacana. Meskipun dalam kenyataanya saya sangat awam sekali dengan dunia jurnalistik, entah apa yang ada dalam benak mereka, anggapan saya mungkin mereka hanya menginginkan saya untuk terus dapat berkembang dan maju dalam menulis, setelah lama di LPM Wacana mulailah saya memberanikan diri untuk mengikuti berbagai macam perlombaan menulis serta terkadang juga aktiv untuk mengirim ke salah satu media, meskipun sampai saat ini tak pernah ada satu pun yang dimuat, namun coba kita lihat dari perjuangan Thomas Alva Edison seorang penemu listrik yang telah berxsperimen selama 999 kali, jika dalam angka ke 1000 dia mudur karna putus asa mungkin sampai saat ini kita belum bias menikmati fasiltas yang berhubungan dengan listrik.
Jika tidak mau gagal atau dihina tulisan kita, solusi terbaik adalah tidak usah menulis sama sekali. kalimat-kalimat sakti itu lah yang membakar motivasi saya untuk tetap menulis, suatu saat saya sempat sedikit kecewa atas penilaian tugas membuat karya ilmiah dari salah satu dosen, dengan mengangkat judul “Agama Islam Dan Syahadat Yang Gugur” menurut beliau, ini bukan karya ilmiah, melaikan sebuah cerita dongeng atau mungkin hanya hasil dari khayalan anda saja. Lekas secepatnya beliau menyuruh saya untuk memperbaiki disetiap susunan katanya. Tiga hari berlalu saya kembali menghampiri dosen tersebut, dalam hati kecil ini hanya penuh dengan do’a semoga ini yang terakhir kalinya. Akan tetapi menurut beliau tulisan saya masih sangat buruk, kemarin seperti cerita dongeng dan yang saat ini seperti naskah pidato, namun tetaplah terus berusaha, karna dengan menulis kita akan menemui ratusan bahkan ribuan hikmah yang terkandung didalamnya. Meskipun bentuk dari tulisan anda masih sangat buruk, akan tetapi saya yakin anda pastinya begitu faham tentang isi dari tulisan tersebut. Tentang agama Islam, atau mungkin tentang syahadat yang dianggap gugur. Karena dengan menulis, daya ingat kita jauh berbeda dengan yang hanya sekedar mendengar saja atau hanya sekedar membaca.
Diakhir tulisan ini saya hanya ingin berbicara kepada diri saya sendiri, rasa syukur jika dapat bermanfaat bagi kita semua. Bahwa dengan rajin menulis berarti kita sedang melewati suatu proses belajar yang luar biasa, karna dengan menulis kita mampu menghafal isi yang terkandung dalam tulisan tersebut, dengan menulis kita mampu menemui jati diri kita sendiri, kita akan lebih peka terhadap keadaan social disekitar kita, mampu merasakan kebahagian, kesedihan atau mungkin kekecewaan akibat perlakuan orang lain tanpa harus membalasnya, cukup dengan menulis hati kita akan terasa terbang dalam kedamaian.

Satu hal yang sangat penting dalam menulis ialah, bahwa dengan kita memiliki ikhtiyar untuk menulis, berarti kita sedang mencoba untuk berbuat suatu amal yang tidak dapat terputuskan. Karna kita sedang dalam proses mencari ilmu yang bermanfaat. Seperti yang termuat dalam hadits Nabi Muhammad S.A.W yang artinya “apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya, atau anak yang shalih yang mendo’akannya.