Pertamakali perkenalan
saya dengan dunia menulis ialah ketika saya masih tinggal di Pondok Pesantren
Bahrul Ulum yang terletak di kota Jombang. Masa remaja saya lebih banyak
dihabiskan di pondok pesantren dari pada di kampung halaman, karna itu adalah
kemauan kedua orang tua yang tidak mungkin dapat ditawar lagi. Di pesantren
saya tergolong sebagai santri yang agak bandel, dari mulai sering tidak
mengikuti kegiatan pesantren, mencari tempat bersembunyi untuk sekedar
menghisap rokok sampai seringnya keluyuran dimalam hari. Sebab kenakalan
tingkah laku di pesantren itu lah yang membuat saya sering kali menerima
ta’ziran (hukuman) oleh para senior yang notabenya sebagai pengurus pondok
pesantren. Usia remaja adalah masa yang sangat labil, jangankan mau untuk
diatur, untuk mengatur diri sendiri saja sangat merepotkan sekali. Seringkalinya
mendapat teguran dan hukuman di pesantren membuat saya lebih sering merasaankan
sedih, kecewa dan kemarahan atas perlakuan mereka, serta membuat hasrat saya
untuk tidak lagi tinggal di pesantren semangkin tinggi. Namun apa daya, kedua
orang tua takan mungkin memberikan restu atas kemauan tersebut, dan saya juga
tak ingin lagi melihat mereka terus-menerus harus menanggung rasa malu atas
perbuatan saya .
Dari perasaan sedih,
kecewa dan marah yang tak mampu terluapkan itu lah membuat saya rajin untuk
menulis kisahnya. Layaknya seorang aktivis pergerakan yang acap kali berkarya
dengan tulisan, mengkritiki para petinggi negara yang menurut mereka dalam
membuat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat, meskipun anggapan mereka belum
tentu benar. Saya juga sering menulis tentang kepengurusan pesantren yang saat
itu menurut saya sangat tidak berpihak kepada para santri. Karna dengan menulis
tentang perasaan-perasaan yang saya alami, saya bagaikan telah mampu menampar
kedua pipi mereka bahkan mungkin meludainya. Meskipun pada giliranya tuduhan
saya tersebut sangat keliru besar, karna sebenarnya mereka para pengurus
pesantren sangat menyangani para santri dan rupanya mereka pula lah yang tak
ingin para santri terlena dalam kemalasan. Atau ketika saya harus bersedih,
karna memendam rasa rindu dengan kedua orang tua, dengan suasana keluarga dan
kampung halaman. Pelukan dan kasih sayang keluarga serta keceriaan bermaian di
kampung halaman mampu terasa ketika saya menulisnya, dengan berimajinasi
tentang mereka, rasa sedih sebab rindu yang terpendam lambat waktu mulai pergi
dan tak terlintas lagi. Karena itu juga keinginan saya untuk terus rajin
menulis semangkin termotivasi, meskipun tulisan-tulisan tersebut masih sama
dengan tulisan saat ini, masih amat jauh dari kesempurnaan. Namun ketika dengan
menulis kita mampu menemukan bahagia, mengapa harus minder yang berujung pada
kematian kita untuk berkarya.
Setelah tiga tahun
pengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah Negri Tambakberas, akhirnya saya
memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Sekolah
Tinggi Agama Islam Bahrul Ulum ( STAI-BU) dan tetap berdomisili di pondok
pesantren. Mulai saat itu lah tumbuh kesadaran dalam diri saya betapa
pentingnya kita untuk dapat menulis atau
menuangkan ide-ide yang ada dalam bentuk tulisan. Memasuki hari-hari awal di
perguruan tinggi, tanggung jawab saya sebagai seorang santri yang seharusnya mentaati
peraturan pesantren mulai mendapatkan keringanan, namun oleh pengasuh pesantren
saya dipercaya untuk menjadi bagian dalam kepengurusan pondok. Seiring
berjalanya waktu saya mulai menyadari bahwa apa yang dulu pernah saya tulis
adalah sebuah angapan-anggapan yang amat sangat jauh dari kebenaran. Akan
tetapi tulisan-tulisan itu telah mampu membawa ke dalam dunia masa lalu saya,
bernostalgia dengan masa lalu dan mengambil hikmah dalam tulisan tersebut
membuat pribadi saya lebih mengerti tatacara dalam bertingkah laku. Dengan
menulis, secara tidak langsung kita sedang mengalami proses belajar yang maha
dasyat, meski terkadang kita tak pernah tau kapan dapat merasakan manfaat dalam
menulis akan terasa.
Akhirnya kebiyasaan
saya menulis, walau sekedar tulisan tentang perjalan hidup atau pengalaman
pribadi saya tersebut mulai diketahui oleh kawan-kawan mahasiswa. Oleh sebab
itu saya diminta untuk bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Jombang, yang
saat itu mengatasnamakan dirinya sebagai LPM Wacana. Meskipun dalam kenyataanya
saya sangat awam sekali dengan dunia jurnalistik, entah apa yang ada dalam
benak mereka, anggapan saya mungkin mereka hanya menginginkan saya untuk terus
dapat berkembang dan maju dalam menulis, setelah lama di LPM Wacana mulailah
saya memberanikan diri untuk mengikuti berbagai macam perlombaan menulis serta
terkadang juga aktiv untuk mengirim ke salah satu media, meskipun sampai saat
ini tak pernah ada satu pun yang dimuat, namun coba kita lihat dari perjuangan
Thomas Alva Edison seorang penemu listrik yang telah berxsperimen selama 999
kali, jika dalam angka ke 1000 dia mudur karna putus asa mungkin sampai saat
ini kita belum bias menikmati fasiltas yang berhubungan dengan listrik.
Jika tidak mau gagal
atau dihina tulisan kita, solusi terbaik adalah tidak usah menulis sama sekali.
kalimat-kalimat sakti itu lah yang membakar motivasi saya untuk tetap menulis,
suatu saat saya sempat sedikit kecewa atas penilaian tugas membuat karya ilmiah
dari salah satu dosen, dengan mengangkat judul “Agama Islam Dan Syahadat Yang
Gugur” menurut beliau, ini bukan karya ilmiah, melaikan sebuah cerita dongeng
atau mungkin hanya hasil dari khayalan anda saja. Lekas secepatnya beliau
menyuruh saya untuk memperbaiki disetiap susunan katanya. Tiga hari berlalu
saya kembali menghampiri dosen tersebut, dalam hati kecil ini hanya penuh
dengan do’a semoga ini yang terakhir kalinya. Akan tetapi menurut beliau
tulisan saya masih sangat buruk, kemarin seperti cerita dongeng dan yang saat
ini seperti naskah pidato, namun tetaplah terus berusaha, karna dengan menulis
kita akan menemui ratusan bahkan ribuan hikmah yang terkandung didalamnya.
Meskipun bentuk dari tulisan anda masih sangat buruk, akan tetapi saya yakin
anda pastinya begitu faham tentang isi dari tulisan tersebut. Tentang agama
Islam, atau mungkin tentang syahadat yang dianggap gugur. Karena dengan
menulis, daya ingat kita jauh berbeda dengan yang hanya sekedar mendengar saja
atau hanya sekedar membaca.
Diakhir tulisan ini
saya hanya ingin berbicara kepada diri saya sendiri, rasa syukur jika dapat bermanfaat
bagi kita semua. Bahwa dengan rajin menulis berarti kita sedang melewati suatu
proses belajar yang luar biasa, karna dengan menulis kita mampu menghafal isi
yang terkandung dalam tulisan tersebut, dengan menulis kita mampu menemui jati
diri kita sendiri, kita akan lebih peka terhadap keadaan social disekitar kita,
mampu merasakan kebahagian, kesedihan atau mungkin kekecewaan akibat perlakuan
orang lain tanpa harus membalasnya, cukup dengan menulis hati kita akan terasa
terbang dalam kedamaian.
Satu hal yang sangat
penting dalam menulis ialah, bahwa dengan kita memiliki ikhtiyar untuk menulis,
berarti kita sedang mencoba untuk berbuat suatu amal yang tidak dapat
terputuskan. Karna kita sedang dalam proses mencari ilmu yang bermanfaat.
Seperti yang termuat dalam hadits Nabi Muhammad S.A.W yang artinya “apabila
seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah
jariyah, atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya, atau anak yang shalih yang
mendo’akannya.
0 komentar:
Posting Komentar