Sebetulnya Mas Alim itu belum terlalu tua. Namun sebab teman-temannya yang sudah banyak berkeluarga dan mempunyai anak itulah, sehingga ia dianggap sebagai lelaki yang tak laku-laku. Apa lagi Ibunya, beliau selalu saja menghawatirkan masalah perjodohan putra satu-satunya itu. Berulang kali ia dijodohkan oleh sahabat-sahabatnya, juga terkdang oleh Ibunya, namun memang begitulah ketentuan takdir tuhan.  Terkadang Mas Alim tidak cocok dengan perempuan yang dikenalkan, atau bahkan sebalaiknya, justru perempuan itu yang tidak cocok dengannya. Hingga suatu ketika ia harus berhadapan dengan sebuah keragu-raguan untuk memilih dari salah satu perempuan yang dikenalkan padanya. Oleh sahabatnya, ia dikenalkan dengan perempuan yang dulu pernah sama-sama nyantri di pondok pesantren Bahrul Ulum. Sementara itu, pamannya yang berada di lain Kota, dua hari yang lalu sengaja berkunjung kerumah Mas Alim untuk menjodohkan dia dengan putri rekan kerjanya. Dan dari kedua perempuan yang dikenalkan kepada Mas Alim itu semuanya cantik serta memikat hati.
Tak kuasa menahan kebimbangan, Mas Alim pun menceritakan hal ini kepada Kang Sukron. Saat mereka duduk santai di jerambah Masjid setelah selesai pengajian rutin setiap malam jum’at. Kang Sukron memang sahabat yang baik, selain itu ia juga memiliki pengalaman yang luas. Begitu juga dengan kata-katanya, apa yang diucapkan sangat meyakinkan. Wajar saja jika Mas Alim menceritakan permasalahanya kepada Kang Sukron. Berharap ia mendapat solusi yang terbaik untuk memilih dari salah satu perempuan yang dikenalkan padanya.   
“Sudah kau coba solat istikhoroh lim?” tanya Kang Sukron setelah Mas Alim menceritakan secara panjang lebar perihal keragu-raguan yang menyelimuti hatinya.
“Sudah Kang”
“Lalu bagaimana? apa yang ada dalam mimpimu setelah kau solat istikhoroh”
“Nggak ada Kang, aku nggak bermimpi apa-apa. Bahkan sepertinya tuhan juga tidak memberikan tanda-tanda khusus yang dapat aku baca tentang jodohku ini”
“Mungkin kamunya saja yang tidak mampu membaca tanda-tanda yang diberikan tuhan. Atau begini saja lim, kau percaya bahwa ridho seorang Ibu juga ridhonya tuhan?”
“Tentu percaya Kang” kata Mas Alim dengan nada meyakinkan.
“Ya sudah, kau tanyakan saja pada Ibumu. Bukan bertanya kepadaku lim. Hehe…”
“Begitu ya Kang, baiklah, nanti besok akan aku coba tanyakan hal ini pada Ibuku”
Setelah mematikan beberapa lampu yang masih menyala dan menutup pintu musolah, Mas Alim pun bergegas melangkahkan kaki kembali kerumah. Begitu juga dengan Kang Sukron.
***
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kang Sukron, bahwa sabda seorang Ibu adalah titah yang diridhoi oleh tuhan. Pagi-pagi betul Mas Alim menanyakan pada Ibunya. Agar beliau memilihkan salah satu diantara dua perempuan yang saat ini ada dalam hatinya. Apapun katanya, siapapun yang jadi pilihannya, kali ini pasti akan ia turuti. Sudah terlalu lelah ia memilih pasangan untuk hidupnya sendiri, bahkan sedikit putus asa. Namun sayang, justru menurut Ibunya, dari kedua gadis itu tak ada satupun yang sreg di hati beliau. Bahkan beliau menyuruh agar mencari selain mereka saja. Sungguh mengherankan, padahal beliau juga yang selama ini menyuruh Mas Alim agar cepat-cepat berkeluarga. Namun apa mau dikata, Mas Alim juga sudah terlanjur berjanji untuk menuruti apa kata Ibunya.
Beberapa tahun telah terlewati, Mas Alim mulai merasa umurnya sudaha tak muda lagi, sahabat-sahabatnya pun telah banyak yang memiliki keturunan. Namun tak mengapalah, ia yakin pasti ada rencana tuhan yang akan lebih indah. Kewajiban hamba hanyalah berusaha dan berdo’a, selebihnya adalah tawakal. Bukan menyuruh-nyuruh atau memaksa, sebab itu hanya akan mengundang cilaka. Seperti hari-hari yang lalu, selepas pengajian rutin setiap malam jum’at, Mas Alim dan Kang Sukron tidak tergesah-gesah kembali ke rumah. Terlebih dulu duduk santai di jerambah musolah sembari menikmati hangatnya wedang teh dan beberapa hidangan yang masih tersisa. Tidak seperti biasanya, kali ini Kang Sukron yang lebih terlihat aktiv mengajak bicara. Tak lama kemudian tiba-tiba Kang Sukron menanyakan masalah nasib jodoh Mas Alim. Sungguh pertanyaan yang melemahkan tulang dan menghentikan aliran darahnya. Namun ini memang kenyataan, dialah sang bujang yang belum laku juga.
“Lim, sebentar lagi umurmu sudah kepala tiga lho. Lalu kapan kamu mau menikahnya?” kata Kang Sukron.
“Belum ketemu jodohnya Kang”
“Nggak kepengin coba pergi ke pesantren lim? Selain sowan, kamu juga bisa minta di do’akan sama Kiai Khasan”    
“Betul juga ya Kang. Bahkan sudah hampir tiga tahun aku belum sowan ke ndalem beliau. Kau ikut ya Kang?”
“Baik, demi kamu lim. Hehe… kapan kita berangkat?”
“Nanti. Hari sabtu saja ya Kang”
Mereka pun merencanakan untuk pergi ke pesantren, sowan kepada Kiai Khasan. Beliau memang terkenal sebagai seorang Kiai yang penuh karismatik. Begitu juga dengan do’anya, terkenal selalu dikabulkan. Bahkan terkadang terlihat beberapa petinggi negara yang sengaja datang ke ndalem Kiai Khasan untuk minta di do’akan.
Tepat hari sabtu mereka berangkat ke pesantren, tempat dulu mereka nyantri dan menimba ilmu. Setibanya di pesantren mereka langsung menuju ke ndalem Kiai Khasan. Mas Alim mengetuk pintu dan terdengar beberapa kali mengucapkan kalimat salam. Tak lama kemudian pintu pun sudah terbuka. Lalu terdengar suara perempuan di balik pintu itu menanyai tujuan mereka. Ia sepertinya tak mau menampakan wajahnya. Melindungi kehormatanya dengan rasa malu, seperti calon istri Nabi Musa tatkala memanggil namanya. Namun mereka berdua sudah menduga-duga, bahwa mungkin perempuan yang di balik pintu itu adalah putri Kiai Khasan.
“Ada apa Kang?” kata perempuan yang masih saja berdiri di balik pintu.
“Ingin ketemu dengan Kiai Khasan” Kang Sukron menjawabnya.
“Tunggu sebentar ya”
Sesaat setelah perempua itu memanggil Kiai Khasan. Beliau pun keluar dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Diantara mereka berdua, Mas Alim dan Kang Sukron, tak ada satu pun yang berani mengangkat wajahnya ke langit dan mendahului pembicaraan. Lazim bagi santri maupun alumni pesantren sebagai adat tadzim kepada Kiai. Meskipun sebenarnya mereka sangat ingin memandang wajah teduh Kiai Khasan.
“Sepertinya lama nggak mampir ke sini ya Kang” kata Kiai Khasan.
Nggih Kiai” Kang Sukron Menjawabnya. Masih saja wajahnya menunduk ke bawah.
“Ada apa ini, kok tumben”
“Begini Kiai, tujuan kedatangan kami kemari yang pertama kepingin silaturrahmi. Lalu, ingin di dido’akan. Alim belum menikah Kiai” kata Kang Sukron dengan sedikit gugup. Kiai Khasan sedikit tersenyum. Setelah mempersilahkan mereka mencicipi hidangan yang tertata rapi di meja. Beliau pun menanyai Mas Alim.
“Betul kau belum menikah lim?”
Nggih Kiai”
Tiba-tiba Kiai Khasan terdiam, sesekali beliau memandangi wajah Mas Alim. Lalu menerawang jauh ke depan, entah apa yang beliau lihat. Suasana pun menjadi hening, hanya terdengar dari arah kejauhan suara lirih para santri yang sedang membaca nadhom imrithi. Tak lama kemudian, Kiai Khasan berulang kali mengucapkan kalimat khamdalah. Entah apa juga yang beliau syukuri. Beliau pun kembali tersenyum dan menanyai Mas Alim.
“Kau benar sudah siap menikah kan lim. Jika aku jodohkan mau lim?”
Nggih Kiai” sembari menganggukan kepalanya. Sebagai tanda bahwa ia setuju dengan perintah Kiai Khasan.
“Meskipun semisal perempuan itu tidak cantik, kau tetap mau lim?”
Nggih Kiai, terserah Kiai saja, saya nurut”
“Yasudah kalau begitu, nanti Insyaallah orang tua perempuan itu berkunjung ke rumahmu”
Setelah mencium telapak tangan Kiai Khasan dan mengucapkan salam, mereka pun pamit untuk kembali ke rumah. Walau sebetulnya Mas Alim sangat penasaran dengan perempuan yang akan dijodohkan dengannya, namun ia tetap yakin, bahwa Kiai Khasan pasti memilihkan yang terbaik untuknya. Namun berbeda dengan Kang Sukron, ia justru sangat penasaran dengan peristiwa saat di ndalem Kiai Khasan tadi. Saat beliau terdiam dan berulangkali mengucapkan kaliamat khamdalah. Beliau terlihat bagaikan sedang berkomunikasi dengan tuhan. Sayang Kang Sukron tak berani bertanya.
***
Pagi yang terlihat begitu cerah, sinar mentari yang menghangatkan pun sudah mulai nampak. Belum selesai Mas Alim membaca do’a setelah sholat dhukha. Ibunya mendekat dan membisikan suara lirih di telinga Mas Alim yang sedang mengangkat kedua tangannya ke langit.
“Di depan ada Kiai Khasan. Sudah Ibu suruh masuk lim” kata Ibunda Mas Alim dengan nada yang lirih.
Selesai berdo’a, Mas Alim bergegas menemui Kiai Khasan yang sudah berada di ruang tamu. Ia tak pernah menduga bahwa Kiai Khasan akan berkunjung kerumahnya. Beberapa hari ini yang ia tunggu adalah orang tua dari perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Yang pernah dijajikan oleh Kiai Khasan. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Kiai Khasan.
“Sendirian Kiai?” tanya Mas Alim
“Iya, masa aku ajak juga putriku. Hehe…” Sembari tetap tersenyum Kiai Khasan kembali meneruskan perkataanya.
 “Nanti kamu dan keluargamu yang datang melamar ke rumahku. Kau sudah kenal nama putriku kan? Aku kesini itu sekedar menepati janji”
“Maksud Kiai?”
“Jangan pura-pura nggak faham lim”
“Tapi! Maaf Kiai, saya nggak pantas jadi suami putri Kiai” Kata Mas Alim penuh rasa ta’dzim.
“Hehe… katanya mau nurut denganku, aku saja sudah menepati janjiku lho lim”
Walau sebenarnya merasa tak pantas mendampingi putri Kiai Khasan, namun akhirnya Mas Alim pun menyetujui peritah beliau. Beberapa hari kemudian, sesuai tanggal yang telah direncanakan. Mas Alim dan rombongan keluarganya pergi berangkat untuk melamar putri Kiai Khasan. Yang hingga saat akan akad nikah ia sendiri pun masih lupa nama putri Kiai Khasan itu. Namun begitulah kisahnya, walau mereka tak pernah berpacaran. Bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. Akan tetapi, jauh sebelum cerpen ini ada. Mereka sudah menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah dan penuh berkah. Serta memiliki keturunan yang soleh-solehah hingga saat ini, saat cerpen ini berakhir.